Pages

Banner 468 x 60px

 

Sabtu, 18 Januari 2014

Review of Chapter 5 - TATA KELOLA ETIS DAN AKUNTABILITAS PERUSAHAAN

0 komentar
Pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya menaruh harapan besar terhadap bisnis, direksi, eksekutif, dan akuntan profesional tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mereka melakukannya. Pada saat yang sama, lingkungan tempat bisnis beroperasi semakin kompleks sehingga hal tersebut menjadi tantangan etika bagi mereka. Jika mereka sampai melakukan tindakan yang melanggar etika, maka hal tersebut dapat menimbulkan risiko yang besar dan akan berpengaruh buruk bagi reputasi dan pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan. Jadi, sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan aturan serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan pemegang saham dan semua pemangku kepentingan lainnya.
Kerangka Tata Kelola dan Akuntabilitas Modern untuk Pemegang Saham dan Para Pemangku Kepentingan Lainnya.
Kasus pelanggaran etika yang berujung pada kegagalan bisnis, audit, dan tata kelola perusahaan berskala besar seperti Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika. Hal ini merupakan suatu bencana besar di lingkungan bisnis, dan telah menjadi pemicu harapan baru dalam tata kelola dan akuntabilitas perusahaan. Menyikapi hal tersebut, para politisi Amerika menciptakan kerangka tata kelola dan akuntabilitas baru yang dikenal dengan Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang bertujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan investor dan memfokuskan kembali tata kelola perusahaan pada tanggung jawab direksi terhadap kewajiban fidusia mereka, yakni  tanggung jawab terhadap kepentingan pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya.
Ancaman Bagi Tata Kelola dan Akuntabilitas yang Baik
Dalam menanggapi ancaman-ancaman yang terkait dengan tata kelola dan akuntabilitas yang baik, maka suatu pedoman yang jelas sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Tiga ancaman yang signifikan meliputi:
·      Salah mengartikan tujuan dan kewajiban fidusia.
Misalnya pada kasus Enron, banyak direksi dan karyawannya percaya bahwa tujuan perusahaan terpenuhi dengan baik oleh tindakan-tindakan yang membawa keuntungan jangka pendek, sehingga perusahaan melakukan manipulasi untuk memperoleh keuntungan tersebut yang ternyata berujung pada kehancuran perusahan tersebut.

·      Kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko etika.
Seiring dengan meningkatnya kompleksitas, volatilitas, dan risiko yang melekat pada kepentingan dan operasi perusahaan, maka risiko harus dapat diidentifikasi, dinilai, dan dikelola dengan hati-hati. Prinsipnya yaitu, risiko etika terjadi ketika terdapat kemungkinan harapan stakeholder tidak terpenuhi. Menemukan dan memperbaikinya adalah sangat penting untuk menghindari krisis atau kehilangan dukungan dari para pemangku kepentingan. Hal itu dapat dilakukan dengan menetapkan tanggung jawab, mengembangkan proses tahunan, dan tinjauan dari dewan organisasi.

·      Konflik Kepentingan
Seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika penilaian independen seseorang menjadi goyah, atau ada kemungkinan goyah dalam membuat keputusan terkait dengan kepentingan terbaik lainnya yang bergantung pada penilaian tersebut. Hal ini bisa saja terjadi karena karyawan dan pimpinan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki kepentingan pribadi dalam mengambil suatu keputusan yang seharusnya diambil secara objektif, bebas dari keragu-raguan, dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan. Konflik kepentingan ini lebih dari sekedar bias, dimana dapat diukur dan disesuaikan. Jadi karena ketidakjelasan sifat dan besarnya pegaruh, perhatian harus benar-benar diberikan pada setiap kecenderungan yang menuju kepada bias.

Elemen Kunci dari Tata Kelola Perusahaan dan Akuntabilitas
ü  Mengembangkan, Menerapkan, dan Mengelola Budaya Perusahaan Secara Etis
Direksi, pemilik, manajemen senior, dan karyawan semuanya harus memahami bahwa suatu organisasi akan lebih bernilai jika mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku kepentingannya, tidak hanya pemegang saham, dan dalam membuat keputusan mempertimbangkan nilai-nilai etika yang tepat. Direksi dan para eksekutif harus cermat dalam mengatur bisnis dan risiko etika perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan dengan efektif dalam perusahaan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan kode etik sehingga dapat menciptakan pemahaman yang tepat mengenai perilaku-perilaku etis, memperkuat perilaku-perilaku tersebut, dan memastikan bahwa nilai-nilai yang mendasarinya melekat pada strategi dan operasi perusahaan. Hal-hal seperti konflik kepentingan, pelecehan seksual, dan hal-hal serupa lainnya harus segera diatasi dengan pengawasan yang memadai untuk menjaga agar budaya perusahaan tetap sejalan dengan harapan saat ini.

ü  Kode Etik Perusahaan
Kode etik dalam tingkah laku bisnis di perusahaan merupakan implementasi salah satu prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Kode etik dapat didefinisikan sebagai mekanisme struktural perusahaan yang digunakan sebagai tanda komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip etika. Mekanisme tersebut dipandang sebagai suatu cara yang efektif untuk mendukung kebiasaan etika dalam menjalankan bisnis. Kode etik menuntut karyawan dan pimpinan perusahaan untuk melakukan praktik-praktik etika bisnis terbaik dalam semua hal yang dilakukan atas nama perusahaan. Jika prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan, maka seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran kode etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

ü  Kepemimpinan Etika
Salah satu unsur penting dari tata kelola dan akuntabilitas perusahaan adalah “tone at the top” dan peran pimpinan dalam membangun, membina, melaksanakan, dan memantau budaya perusahaan yang diharapkan. Jika para pemimpin senior atau junior hanya bersuara untuk menyatakan nilai-nilai yang diinginkan di dalam perusahaan, maka karyawan akan mempertimbangkan hal tersebut sebagai suatu yang tidak patut diperhatikan. Meskipun budaya formal organisasi menetapkan nilai tersebut, namun jika tidak didukung oleh budaya informal maka hal tersebut hanya akan diangap sebagai suatu ocehan atau istilah lainnya “window dressing”.

Kewajiban Direksi dan Pekerja
Tata kelola etika dan akuntabilitas perusahaan bukan hanya sekedar bisnis yang bagus, namun merupakan suatu hukum. SOX Seksi 404 mengharuskan perusahaan meneliti efektivitas sistem pengendalian internal mereka terkait dengan pelaporan keuangan. CEO, CFO, dan auditor harus melaporkan dan menyatakan efektivitas tersebut. Pendekatan COSO terkait dengan sistem pengendalian internal menjelaskan bagaimana cara suatu perusahaan mencapai tujuannnya melalui 4 dimensi, yaitu strategi, operasi, pelaporan, dan kepatuhan. Melalui 4 dimensi tersebut, kerangka manajemen etika melibatkan 8 unsur yang saling terkait mengenai cara manajemen menjalankan perusahaan dan bagaimana mereka terintegrasi dengan proses manajemen yang meliputi lingkungan internal, penetapan tujuan, identifikasi kejadian, penilaian risiko, tanggapan terhadap risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan (monitoring).
Etika dan budaya etis perusahaan memainkan peran penting dalam penetapan pengendalian lingkungan, dan juga dalam menciptakan manajemen risiko etika yang efektif yang berorientasi pada sistem pengendalian internal dan perilaku yang dihasilkan. Oleh karena itu,  hal tersebut dapat menentukan “tone at the top”, kode etik, kepedulian pegawai, tekanan untuk memperoleh tujuan yang tidak realistis, kesediaan manajemen untuk mengabaikan pengendalian, kepatuhan dalam penilaian kinerja, pemantauan terhadap efektivitas pengendalian internal, program “whistle-blowing”, dan tindakan perbaikan dalam menanggapi pelanggaran kode etik.

Tolak Ukur Akuntabilitas Publik
Salah satu perkembangan terkini yang perlu dipertimbangkan oleh dewan direksi dan manajemen ketika mengembangkan nilai-nilai, kebijakan, dan prinsip-prinsip yang mendasari budaya perusahaan dan tindakan karyawan mereka adalah gelombang baru dalam pengawasan pemangku kepentingan dan kebutuhan untuk transparansi dan akuntabilitas publik. Jika direksi mampu mengenali dan mempersiapkan perusahaan mereka di era baru dimana akan berhadapan dengan akuntabilitas para pemangku kepentingan yang efektif dan juga sistem tata kelola yang beretika, mereka tidak hanya akan mengurangi risiko, tapi juga akan menghasilkan keuntungan kompetitif dari perlanggan, karyawan, mitra, lingkungan, dan para stakeholder lainnya yang tentunya menarik bagi pemegang saham. Intinya, direksi, eksekutif, dan akuntan profesional harus fokus sepenuhnya terhadap pengembangan dan pemeliharaan budaya integritas jika mereka ingin memuaskan harapan seluruh pemangku kepentingannya.

0 komentar:

Posting Komentar