Pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya menaruh harapan
besar terhadap bisnis, direksi, eksekutif, dan akuntan profesional tentang apa yang
dikerjakan dan bagaimana cara mereka melakukannya. Pada saat yang sama, lingkungan
tempat bisnis beroperasi semakin kompleks sehingga hal tersebut menjadi
tantangan etika bagi mereka. Jika mereka sampai melakukan tindakan yang
melanggar etika, maka hal tersebut dapat menimbulkan risiko yang besar dan akan
berpengaruh buruk bagi reputasi dan pencapaian tujuan perusahaan secara
keseluruhan. Jadi, sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang
menyediakan aturan serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan pemegang
saham dan semua pemangku kepentingan lainnya.
Kerangka Tata Kelola dan
Akuntabilitas Modern untuk Pemegang Saham dan Para Pemangku Kepentingan
Lainnya.
Kasus pelanggaran etika yang berujung pada kegagalan bisnis, audit, dan
tata kelola perusahaan berskala besar seperti Enron, Arthur Andersen, dan
WorldCom telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor terhadap
perusahaan-perusahaan di Amerika. Hal ini merupakan suatu bencana besar di lingkungan
bisnis, dan telah menjadi pemicu harapan baru dalam tata kelola dan
akuntabilitas perusahaan. Menyikapi hal tersebut, para politisi Amerika
menciptakan kerangka tata kelola dan akuntabilitas baru yang dikenal dengan
Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang bertujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan investor
dan memfokuskan kembali tata kelola perusahaan pada tanggung jawab direksi
terhadap kewajiban fidusia mereka, yakni tanggung jawab terhadap kepentingan pemegang
saham dan para pemangku kepentingan lainnya.
Ancaman Bagi Tata Kelola dan
Akuntabilitas yang Baik
Dalam menanggapi ancaman-ancaman yang terkait dengan tata kelola dan
akuntabilitas yang baik, maka suatu pedoman yang jelas sangat dibutuhkan untuk
mengidentifikasi dan mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Tiga ancaman yang
signifikan meliputi:
·
Salah mengartikan tujuan dan kewajiban
fidusia.
Misalnya
pada kasus Enron, banyak direksi dan karyawannya percaya bahwa tujuan
perusahaan terpenuhi dengan baik oleh tindakan-tindakan yang membawa keuntungan
jangka pendek, sehingga perusahaan melakukan manipulasi untuk memperoleh
keuntungan tersebut yang ternyata berujung pada kehancuran perusahan tersebut.
·
Kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengelola
risiko etika.
Seiring dengan meningkatnya kompleksitas, volatilitas,
dan risiko yang melekat pada kepentingan dan operasi perusahaan, maka risiko
harus dapat diidentifikasi, dinilai, dan dikelola dengan hati-hati. Prinsipnya
yaitu, risiko etika terjadi ketika terdapat kemungkinan harapan stakeholder
tidak terpenuhi. Menemukan dan memperbaikinya adalah sangat penting untuk
menghindari krisis atau kehilangan dukungan dari para pemangku kepentingan. Hal
itu dapat dilakukan dengan menetapkan tanggung jawab, mengembangkan proses
tahunan, dan tinjauan dari dewan organisasi.
·
Konflik Kepentingan
Seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan harus dapat
menjaga kondisi yang bebas dari konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi
ketika penilaian independen seseorang menjadi goyah, atau ada kemungkinan goyah
dalam membuat keputusan terkait dengan kepentingan terbaik lainnya yang
bergantung pada penilaian tersebut. Hal ini bisa saja terjadi karena karyawan dan
pimpinan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki
kepentingan pribadi dalam mengambil suatu keputusan yang seharusnya diambil
secara objektif, bebas dari keragu-raguan, dan demi kepentingan terbaik dari
perusahaan. Konflik kepentingan ini lebih dari sekedar bias, dimana dapat
diukur dan disesuaikan. Jadi karena ketidakjelasan sifat dan besarnya pegaruh,
perhatian harus benar-benar diberikan pada setiap kecenderungan yang menuju kepada
bias.
Elemen Kunci dari
Tata Kelola Perusahaan dan Akuntabilitas
ü
Mengembangkan, Menerapkan, dan Mengelola
Budaya Perusahaan Secara Etis
Direksi, pemilik, manajemen senior, dan karyawan semuanya
harus memahami bahwa suatu organisasi akan lebih bernilai jika mempertimbangkan
kepentingan seluruh pemangku kepentingannya, tidak hanya pemegang saham, dan
dalam membuat keputusan mempertimbangkan nilai-nilai etika yang tepat. Direksi dan
para eksekutif harus cermat dalam mengatur bisnis dan risiko etika
perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan dengan
efektif dalam perusahaan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan kode etik
sehingga dapat menciptakan pemahaman yang tepat mengenai perilaku-perilaku
etis, memperkuat perilaku-perilaku tersebut, dan memastikan bahwa nilai-nilai
yang mendasarinya melekat pada strategi dan operasi perusahaan. Hal-hal seperti
konflik kepentingan, pelecehan seksual, dan hal-hal serupa lainnya harus segera
diatasi dengan pengawasan yang memadai untuk menjaga agar budaya perusahaan tetap
sejalan dengan harapan saat ini.
ü
Kode Etik Perusahaan
Kode etik dalam tingkah laku bisnis di perusahaan
merupakan implementasi salah satu prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Kode
etik dapat didefinisikan sebagai mekanisme struktural perusahaan yang digunakan
sebagai tanda komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip etika. Mekanisme
tersebut dipandang sebagai suatu cara yang efektif untuk mendukung kebiasaan etika
dalam menjalankan bisnis. Kode etik menuntut karyawan dan pimpinan perusahaan
untuk melakukan praktik-praktik etika bisnis terbaik dalam semua hal yang dilakukan
atas nama perusahaan. Jika prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya
perusahaan, maka seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan akan berusaha
memahami dan berusaha mematuhi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh
dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran kode etik merupakan
hal yang serius, bahkan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
ü
Kepemimpinan Etika
Salah satu unsur penting dari tata kelola dan
akuntabilitas perusahaan adalah “tone at the top” dan peran pimpinan dalam membangun,
membina, melaksanakan, dan memantau budaya perusahaan yang diharapkan. Jika para
pemimpin senior atau junior hanya bersuara untuk menyatakan nilai-nilai yang
diinginkan di dalam perusahaan, maka karyawan akan mempertimbangkan hal
tersebut sebagai suatu yang tidak patut diperhatikan. Meskipun budaya formal
organisasi menetapkan nilai tersebut, namun jika tidak didukung oleh budaya
informal maka hal tersebut hanya akan diangap sebagai suatu ocehan atau istilah
lainnya “window dressing”.
Kewajiban Direksi dan Pekerja
Tata kelola etika dan akuntabilitas perusahaan bukan hanya
sekedar bisnis yang bagus, namun merupakan suatu hukum. SOX Seksi 404
mengharuskan perusahaan meneliti efektivitas sistem pengendalian internal
mereka terkait dengan pelaporan keuangan. CEO, CFO, dan auditor harus
melaporkan dan menyatakan efektivitas tersebut. Pendekatan COSO terkait dengan
sistem pengendalian internal menjelaskan bagaimana cara suatu perusahaan
mencapai tujuannnya melalui 4 dimensi, yaitu strategi, operasi, pelaporan, dan
kepatuhan. Melalui 4 dimensi tersebut, kerangka manajemen etika melibatkan 8
unsur yang saling terkait mengenai cara manajemen menjalankan perusahaan dan
bagaimana mereka terintegrasi dengan proses manajemen yang meliputi lingkungan
internal, penetapan tujuan, identifikasi kejadian, penilaian risiko, tanggapan
terhadap risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan
pemantauan (monitoring).
Etika dan budaya etis perusahaan
memainkan peran penting dalam penetapan pengendalian lingkungan, dan juga dalam
menciptakan manajemen risiko etika yang efektif yang berorientasi pada sistem
pengendalian internal dan perilaku yang dihasilkan. Oleh karena itu, hal tersebut dapat menentukan “tone at the
top”, kode etik, kepedulian pegawai, tekanan untuk memperoleh tujuan yang tidak
realistis, kesediaan manajemen untuk mengabaikan pengendalian, kepatuhan dalam
penilaian kinerja, pemantauan terhadap efektivitas pengendalian internal,
program “whistle-blowing”, dan tindakan perbaikan dalam menanggapi pelanggaran
kode etik.
Tolak Ukur
Akuntabilitas Publik
Salah satu perkembangan terkini yang
perlu dipertimbangkan oleh dewan direksi dan manajemen ketika mengembangkan
nilai-nilai, kebijakan, dan prinsip-prinsip yang mendasari budaya perusahaan
dan tindakan karyawan mereka adalah gelombang baru dalam pengawasan pemangku
kepentingan dan kebutuhan untuk transparansi dan akuntabilitas publik. Jika
direksi mampu mengenali dan mempersiapkan perusahaan mereka di era baru dimana
akan berhadapan dengan akuntabilitas para pemangku kepentingan yang efektif dan
juga sistem tata kelola yang beretika, mereka tidak hanya akan mengurangi
risiko, tapi juga akan menghasilkan keuntungan kompetitif dari perlanggan,
karyawan, mitra, lingkungan, dan para stakeholder lainnya yang tentunya menarik
bagi pemegang saham. Intinya, direksi, eksekutif, dan akuntan profesional harus
fokus sepenuhnya terhadap pengembangan dan pemeliharaan budaya integritas jika
mereka ingin memuaskan harapan seluruh pemangku kepentingannya.
0 komentar:
Posting Komentar